Beranda | Artikel
Syariat Hukum Potong Tangan
Minggu, 24 Juli 2011

SYARIAT HUKUM POTONG TANGAN

Salah satu kebutuhan pokok yang harus ada dalam setiap tatanan kehidupan manusia, dari kehidupan yang terkecil sampai yang terbesar adalah adanya peraturan dengan segala konsekuensinya  yang dijadikan sebagai pijakan bagi semuanya. Karenanya, di setiap lini kehidupan pasti ada peraturan atau undang undang yang berlaku, baik tertuang ataupun tidak, tertulis ataupun tidak.

Begitu pula dengan agama ini yang berfungsi sebagai rambu-rambu bagi seluruh manusia, yang telah Allah Azza wa Jalla pilihkan untuk makhluk-Nya yang tercipta di dunia ini. Dia adalah Dzat yang Maha Adil, Maha Mengetahui dan Maha Penyayang kepada para Makhluk-Nya. Apa saja yang telah diatur- dan dipilihkan-Nya buat manusia, tidak mungkin akan menyengsarakan mereka.

Di antara peraturan yang telah ditegaskan-Nya demi kemaslahatan seluruh manusia adalah peraturan tentang hal pencurian, yang berupa sangsi tegas dengan hukuman potong tangan bagi para pelakunya.

Allah Azza wa Jalla menegaskan:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْٓا اَيْدِيَهُمَا جَزَاۤءًۢ بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ  ٣٨ فَمَنْ تَابَ مِنْۢ بَعْدِ ظُلْمِهٖ وَاَصْلَحَ فَاِنَّ اللّٰهَ يَتُوْبُ عَلَيْهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ 

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Maka Barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, Maka Sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang [al-Mâidah/5:38-39]

Dan apa yang telah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan kepada seseorang yang tertangkap basah ketika mencuri. ‘Abdullah Ibnu Umar Radhiyallahu anhu berkata

أَنّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَطَعَ سَارِقًا فِي مِجَنٍّ قِيمَتُهُ ثَلاثَةُ دَرَاهِمٍ.

Bahwa Rasûlullâh memotong tangan seseorang yang mencuri tameng/perisai, yang nilainya sebesar tiga dirham [Muttafaqun `Alaihi]

Ibnu Mundzir rahimahullah dalam hal ini berkata,”Para ulama sepakat bahwa potong tangan bagi pencuri dilakukan bila ada dua orang saksi yang adil, beragama Islam dan merdeka.”[1]

‘Abdurrahmân al-Harîri berkata ,”Hukum had atas pencurian telah ditetapkan oleh al-Kitab dan Sunnah serta kesepakatan para ulama. Allah Azza wa Jalla telah menyebutkan hukumannya dalam ayatnya yang mulia. Dia telah memerintahkan potong tangan atas pencurinya baik laki-laki atau perempuan, budak atau merdeka, muslim atau non muslim guna  melindungi dan menjaga harta. Hukum potong tangan ini telah diberlakukan pada zaman jahiliyah sebelum Islam. Setelah Islam datang, maka Dia Azza wa Jalla menetapkannya dan menambahnya dengan persyaratan yang telah diketahui.”[2]

Kejamkah Hukum Potong Tangan?
Tudingan bahwa agama Islam kejam, melanggar hak asasi manusia, terbelakang dan sangat primitif dalam penerapan hukuman sudah lama dihembuskan oleh orang orang yang dungu dan tidak mau berfikir jauh ke depan. Yaitu berupa Perasaan sesaat dan hanya memperhatikan kepentingan kelompok kecil yang bersalah dan yang berhak atas hukuman tersebut serta menutup mata dan telinga mereka terhadap masa depan masyarakat banyak dan orang-orang yang telah dirugikan dari pencurian ini.

Perlu di ingat, bahwa harta sangat berharga bagi manusia. Sehingga, dalam hal ini perhatian Islam kepada harta sangatlah besar, begitu pula perintah untuk menjaganya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyandingkan keharamannya dengan permasalahan nyawa. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا ، فِيْ بَلَدِكُمْ هَذَا ، فِيْ شَهْرِكُمْ هَذَا

Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian diharamkan atas kalian, sebagaimana diharamkannya hari kalian pada saat ini, di tempat ini, dan di bulan ini [HR. Bukhâri][3]

Pernahkah mereka berfikir, bagaimanakah perasaan orang-orang yang kehilangan harta mereka? Terlebih bila harta yang terambil adalah harta yang telah dikumpulkan selama bertahun tahun, kemudian disimpan ditempat yang dianggap aman, ternyata hilang begitu cepat dalam waktu yang cepat?. Berfikirkah mereka, bagaimana dahsyatnya efek jera yang akan memberi keamanan bagi masyarakat luas setelahnya dari hukuman potong tangan yang  mereka anggap sebagai pelanggar norma kehidupan mereka? Hak asasi siapakah yang mereka perjuangkan?

Syariat Islam dalam kasus pencurian ini, berusaha menjaga kepentingan orang banyak daripada menjaga kepentingan si pencuri. Memberi hukuman yang berat berupa memotong tangan bertujuan membasmi sesuatu yang menjadikan kecemasan manusia pada harta mereka. Sehingga Allah Azza wa Jalla menjadikannya sebagai cambuk untuk mendapatkan maslahat yang lebih besar dibandingkan dengan kepentingan  si pencuri yang hanya sesaat dan banyak menimbulkan kerusakan. Ini adalah hukuman yang setimpal yang penuh faedah dan hikmah. Bila seseorang mau berfikir, hukuman setimpal bukan berarti menzalimi si pelaku, tetapi ini merupakan keadilan dalam peraturan Allah Azza wa Jalla yang pasti baik bagi makhluk-Nya karena hanya Dia-lah yang Maha Mengetahui segala sesuatunya. Bila hukuman ini dibiarkan diatur oleh seorang mujtahid atau seorang hakim atau kelompok tertentu, pasti akan menyebabkan saling bertentangan. Dan hasilnya tidak dapat dipastikan akan dapat mewujudkan suatu keadilan yang dapat dirasakan oleh manusia, sehingga merasa tenang dari kezaliman dan kekerasan orang lain.[4]

Setimpalkah Hukuman Potong Tangan Dengan Barang yang Dicuri?
Ibnu Jauzi dan Abdul Wahhâb al-Maliky, mengomentari beratnya hukuman yang diberlakukan dalam had pencurian, yaitu bila dibandingkan antara harta yang tidak seberapa dengan hukuman potong tangan yang harganya bisa jadi berlipat-lipat, mereka mengatakan, “ketika tangan tersebut dapat dijaga maka ia adalah sesuatu yang  berharga, namun bila ia berkhianat maka itu akan menjadi murah”.[5]

Perampasan Barang Apakah Berlaku Hukuman Potong Tangan?
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata ,”Penerapan Hukum potong tangan bagi pencuri senilai seharga tiga dirham dan tidak diterapkannya kepada pelaku pencopetan, perampasan dan pemaksaan merupakan kesempurnaan hikmah  syariat. Juga karena sesungguhnya pencuri tidak mungkin untuk mencegah darinya (pencurian) karena (pencuri) itu telah masuk rumah, merusak penyimpanan dan pengunci. Dan tidak memungkinkan pemilik barang melakukan penyimpanan lebih dari itu.  Kalau seandainya potong tangan tidak disyariatkan, maka akan terjadi saling mencuri antar manusia, kerusakan akan membesar, semakin berbahaya. Berbeda dengan pelaku pencopetan dan perampasan, karena dia mengambil secara terang terangan dengan penglihatan manusia, yang memungkinkan mereka dapat mengambilnya kembali dari kedua tangannya dan mengembalikan hak orang yang dizalimi atau bersaksi di hadapan hakim.[6]

Imam Nawawi rahimahullah berkata dalam syarh Muslim bahwa Qâdhi Iyâd rahimahullah berkata:“Allah Azza wa Jalla menjaga harta dengan mewajibkan potong tangan bagi pencuri, dan tidak memberlakukannya pada selain pencurian seperti penjambretan, pemalakan, atau pemaksaan karena perbuatan-perbuatan tersebut lebih sedikit/ringan daripada pencurian. Dan juga korbannya dimungkinkan  bisa meminta kembali dengan meminta tolong kepada penguasa serta lebih mudah untuk ditegakkan bukti atasnya dibandingkan dengan kasus pencurian, karena jarang sekali ada bukti atasnya. Maka, pencurian itu dianggap merupakan perkara yang besar dan hukumannya lebih berat untuk lebih membuat jera.

Di antara Faedah Hukuman Potong Tangan
Bila hukuman ini dilaksanakan, maka akan menghasilkan empat hal:

  1. Keimanan terhadap Islam, baik dalam akidah, syariah atau manhaj.
  2. Terwujudnya syariat Allah Azza wa Jalla pada seluruh hukum-hukumnya, baik secara politik, ekonomi maupun sosial.
  3. Membuktikan akal dan kenyataan dengan faedah yang dihasilkan dari hukum hudûd.
  4. Semangat untuk mewujudkan kemaslahatan bagi orang banyak daripada kebaikan perorangan.[7]

Sebab dan Syarat Hukum Potong Tangan
Yang menjadi sebab dapat dijatuhkan hukum potong bagi seseorang adalah karena pencurian. Sebagaimana di firmankan oleh Allah Azza wa Jalla.

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْٓا اَيْدِيَهُمَا جَزَاۤءًۢ بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ 

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” [al-Mâidah/5:38]

Pencurian yang dimaksud di sini adalah pengambilan harta dari pemiliknya, atau wakilnya dengan cara sembunyi sembunyi..

Harta yang dimaksud di atas tidak termasuk harta ditiadakan oleh syariat. Walaupun secara bahasa dianggap sebagai harta. Seperti arak, anjing, dll. Sehingga apabila seseorang mencuri anjing maka tidak akan dikenakan hukum potong tangan.

Ibnul Mundzir rahimahullah mengatakan, …..dan mereka telah sepakat bahwa seorang muslim bila ia mencuri khamer dari saudaranya maka ia tidak dipotong (tangannya).[8]

Dari pengertian di atas dapat dipahami pula bahwa kalimat “pemiliknya atau wakilnya” tidak memasukkan pencurian selain harta yang bukan miliknya, seperti harta yang masih menjadi milik orang lain dari hasil merampas , korupsi, dll. Apabila ada orang yang mencurinya maka tidak sampai kepada hukum potong tangan.

Apakah ini berarti diperbolehkan mencuri dari seorang yang zalim atau orang yang telah melakukan perampasan? Dalam hal ini ada dua keadaan, bila niatnya adalah untuk mengembalikan barang tersebut kepada pemiliknya, maka tidak mengapa. Namun bila untuk kepentingan pribadi atau keluarganya sendiri, maka jelas tidak diperbolehkan.[9]

Syarat Dilaksanakannya Hukuman Pencurian
Hukum potong tangan bukanlah hukuman yang asal dilakukkan tanpa ada kriteria tertentu. Namun ia adalah hukuman yang adil, yang harus dipenuhi kriterianya, sehingga pelakunya benar-benar berhak untuk dipotong tangannya supaya menghasilkan efek jera baginya dan bagi orang lain, tanpa mengabaikan hak si pelakunya.

Syarat yang harus dipenuhi dari pelaku pencurian itu sendiri, antara lain:

  1. Ia seorang yang mukallaf, berniat untuk mencuri, tidak terpaksa dalam mencuri, tidak didapati adanya hubungan antara pencuri dengan yang dicuri dan tidak ada subhat dalam melakukan pencurian. Yang dimaksud dengan mukallaf adalah seorang yang baligh dan berakal.
  2. Tidak terpaksa, bukan seorang yang dipaksa oleh orang lain untuk melaksanakan pencurian, dengan ancaman yang membahayakan nyawanya.
  3. Tidak didapati adanya hubungan kekerabatan, di sini pengertiannya adalah harta yang dicuri bukan harta anaknya sendiri. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “ Kamu dan harta kamu adalah milik bapak kamu”, atau harta bapak atau orang tuanya sendiri (menurut pendapat mayoritas para ulama). Karena anaknya adalah bagian dari orang yang akan mewarisi hartanya dan ia masih bertanggung jawab untuk memberikan nafkah kepadanya, atau dari harta suaminya atau istrinya. Adapun hubungan keluarga/kekerabatan yang lainnya maka tidak  ada pengaruhnya.
  4. Tidak ada subhat dalam melakukan pencurian. Maksudnya adalah tidak dipaksa dalam melakukannya, misalnya ia lapar, sangat membutuhkan harta, dan sebagainya. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,“Ini adalah subhat yang kuat yang dapat memalingkan hukum had karena ia sangat membutuhkannya. Ini adalah (alasan) yang lebih kuat dibandingkan dengan subhat yang disebutkan oleh banyak para ulama)[10]

Di antara syarat yang harus dipenuhi dalam kriteria pencurian hukuman potong tangan, yang berkaitan dengan barang yang dicuri antara lain:

  1. Pencurian dilakukan dari tempat /penyimpanan yang terjaga

Ibnu Mundzir berkata,”Mereka sepakat bahwa potong tangan diberlakukan kepada orang mencuri dari tempat penyimpanan.“Yang dimaksud tempat penyimpanan/yang terjaga di sini adalah adalah tempat penunjang yang dapat menjaga dengan benar, harta yang dimaksudkan; misalnya rumah yang terkunci, lemari, atau toko yang ditutup dan semisalnya.

Pengarang ar-Raudhah Nâdiyah (2/277) berkata: “Al-hirzu/tempat simpanan adalah yang  dianggap masyarakat sebagai tempat penyimpanan harta tersebut, sepert lumbung untuk menyimpan gabah, kandang untuk menyimpan binatang dan keranjang untuk menyimpan buah-buahan.

Tempat ini berbeda antara daerah/negara satu dengan yang lainnya; disesuaikan dengan bentuk barang, tempat yang biasa digunakan untuk penyimpanan dan penguasa. Bila pencurian yang dilakukan bukan pada tempat yang terjaga, seperti uang yang ditaruh di depan pintu rumah, maka pelakunya tidak sampai terkena hukuman potong tangan.[11]

  1. Harta yang dicuri adalah harta yang terhormat, punya pemiliknya atau wakilnya.
  2. Barang yang dicuri mencapai nishâbnya ketika diambil dari tempatnya.

Yang dimaksudkan nishâb di sini adalah adalah nishâb/batasan minimal dalam masalah pencurian,, yaitu tiga dirham atau seperempat dinar atau yang senilai dengan salah satu dari keduanya.

Sebagaimana yang disebutkan dalam hadist `Aisyah, bahwa Nabi n bersabda,”Tidak dipotong tangan (pencuri) terkecuali pada seperempat dinar atau lebih”

Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menghukum potong tangan terhadap pencurian perisai yang senilai tiga dirham (HR. Muslim:1687), Tirmidzi (1446).

Bila dinilai dengan uang rupiah maka bisa di lihat dengan harga emas yang sekarang berlaku. Syaikh Utsaimîn berkata:“Jumlah seperempat dinar yang dimaksudkan pada zaman sekarang, sedikit sekali, yakni dinar sebesar mitsqâl–dinar Islam-, kemudian ia menanyakan orang pemilik emas, berapa ukuran mitsqâl/berat dari emas? Sedikit sekali yakni sekitar dua puluh riyal. (satu riyal sekitar dua ribu sampai tiga ribu rupiah). Lihat liqâ` maftûh (28/201)

  1. Terbuktinya pencurian oleh si pelaku. Baik dengan cara bukti dua orang saksi yang menyatakan bahwa pelakulah yang mengambil atau dengan cara pengakuan dari si pelaku. Dalam masalah saksi tidak diperbolehkan adanya saksi wanita, walaupun bersaksi terhadap dua orang wanita atau lebih dengan seorang laki laki. Karena dalam masalah hukum hudûd , saksi wanita tidak di gunakan.[12]

Siapakah yang Melaksanakan Hukuman ini?
Yang melaksanakannya adalah penguasa pemerintah atau orang yang yang ditugasinya.

Apakah Tangannya yang Telah Terpotong Digantungkan?
Imam Syafi`i dan Ahmad berpendapat bolehnya dalam hal ini, bila dimaksudkan untuk membuat jera, berdasarkan riwayat dari Turmuzi bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika didatangkan kepadanya seorang pencuri yang telah terpotong tangannya, kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengalungkannya di lehernya . [13]

Bagaimana Cara Pelaksanaan Hukuman Potong Tangan?
Dinukil oleh Syaikh Abdul Adzîm Badawi, dari  penulis kitab ar-Raudhatun Nâdiyah: para ulama sepakat; seorang pencuri pada pencurian yang pertama dipotong tangan sebelah kanannya. Bila ia mencuri kedua kalinya, maka  dipotong kaki kirinya. Kemudian mereka berbeda pendapat bila ia mencuri untuk ketiga kalinya; setelah dipotong tangan kanan dan kaki kirinya, mayoritas mereka berpendapat dipotong tangan kirinya. Dan bila ia mencuri lagi setelahnya maka dipotong kaki kanannya. Kemudian bila mencuri lagi, maka ia dihukum ta`zîr dan dikurung.[14]

Terhindarnya Pencuri Dari Potong Tangan
Seorang pencuri yang dimaafkan oleh orang yang dicurinya dan belum sampai diangkat perkara/diajukan ke hakim, maka dapat menghindarkan si pencuri dari hukaman potong tangan.[15]

 Akhirnya, apa yang dibutuhkan manusia adalah apa yang telah ditetapkan oleh Dzat yang telah menciptakan mereka. Karena tidak ada hukum yang lebih baik dari hukum-Nya. Dan dalam melaksanakan konsekuensi ini, seorang tidak hanya mengedepankan pikiran pendeknya dan perasaan yang bukan pada tempatnya. Tetapi lebih mengedapankan kepastian hasil yang akan didapat bila benar benar dijalankan sesuai dengan prosedur dan tata cara yang diatur dalam agama ini. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. [al-Baqarah/2/216]

Wallâhu a`lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote  
[1] Kitab al-Ijmâ` : 261/140, Lihat kitab al-Wajîz hal. 443
[2]  Kitab Madzâhibul arba`ah , Abdurrahmân al-Harîri, : 5/153
[3] lihat Majalah al-Bukhûs al-Islâmiyah:22/317
[4] Lihat Majalah Jâmi`ah Islâmiah:4/484
[5] Ahmad  al-Hasary, Al-Hudûd Wal Asyribah Fil Fiqh Islâmy : 374 – 375, Tafsîr Ibnu Katsîr:3/110
[6] I`lâmul Muwaqqi`în hal 44
[7] Al-fiqh Islâmy wa adillatuhu:219-222
[8] lihat kitab al-Wajîz hal 443
[9] Al-Jâmi`li Ahkâm Fiqhis Sunnah li fadhîlati Muhammad Bin Shâlih al-Utsaimîn: 4/20
[10] (lihat al-Mausû`atul fiqhiyyatul kuwaitiyyah:2/8608-8609)
[11] Lihat kitab al-Wajîz hal. 443
[12] Al-Jâmi` li Ahkâm Fiqhis Sunnah li fadhîlah Muhammad Bin Shâlih Al-Utsaimîn:4/206-210
[13] (lihat Asna`al Mathâlib : 4/153, al-Mughni :10/266)
[14] lihat kitab al-Wajîz hal 444
[15] Lihat al-Wajîz hal 444


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3132-syariat-hukum-potong-tangan.html